Isu-isu kebangsaan semakin hari semakin panas terdengar di Indonesia. Dari mulai isu SARA Presiden Jokowi saat masa kampanye, Florence Sihombing, sampai memanasnya suasana politik di DKI Jakarta. Paling heboh, tak jauh dari Semarang dan masih terngiang di ingatan adalah kasus Florence Sihombing. Florence Sihombing menjadi bulan-bulanan warga Yogyayakarta di media sosial karena menulis status yang dianggap menghina.
Permasalahan itulah yang menjadi bahasan paling menarik dalam Rapat Dengar Pendapat 4 Pilar Kebangsaan dan Ketetapan MPR RI, Sabtu malam (14/3/2015). Digelar di Gedung Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Undip, acara tersebut menghadirkan Juliari P. Batubara, Anggota MPR RI, dan Dr. Redyanto Noor, M.Hum, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Undip, sebagai narasumber.
Kasus Florence Sihombing menjadi salah satu pertanyaan yang muncul dalam diskusi tersebut. Yoam, mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Undip, mempertanyakan pendapat para pengisi acara tentang adanya kaitan SARA pada kasus tersebut. Ia menyatakan, bisa saja cerita berubah jika Florence tak bernama belakang Sihombing, tapi bernama belakang nama-nama khas masyarakat suku Jawa.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Juliari menegaskan bangsa Indonesia harus memiliki cara hidup dengan menerapkan 4 Pilar Kebangsaan, yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Ketika saya berada di dalam keluarga, saya Batak dan hidup homogen. Tapi ketika kita ke luar, di mana tempat tersebut heterogen, kita harus menerapkan 4 Pilar Kebangsaan itu,” tegas Ari, sapaan akrab Juliari.
Anggota MPR RI yang sedang dalam masa reses tersebut juga menambahkan tentang pentingnya bangsa Indonesia kembali ke budaya gotong royong untuk hidup berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, Dr. Redyanto Noor, M.Hum, menilai 4 Pilar Kebangsaan adalah ideologi yang hendak diawetkan. Jika ingin diterapkan, kata Redyanto, ideologi tersebut harus menjadi mitos terlebih dahulu. Sebab, mitos adalah salah satu pranata sosial paling ampuh untuk menuntun masyarakat dalam mengekspresikan diri dan kehendaknya.
“Masyarakat kita lebih taat pada mitos dibanding aturan resmi. Contoh, tak jarang kita lihat ada orang yang melanggar lampu merah karena tak ada polisi. Beda cerita kalau soal mitos. Jika mitosnya kencing di kuburan itu dilarang karena bisa membuat kemaluan kita jadi terbalik, mana ada yang berani melakukannya,” tutur Dekan FIB Undip tersebut.
Rapat Dengar Pendapat 4 Pilar Kebangsaan dan Ketetapan MPR RI itu dimoderatori oleh Dr. Adi Nugroho, M.Si. Selain itu. diskusi tersebut dihadiri ratusan audiens yang berasal dari berbagai kalangan, seperti mahasiswa, taruna Akpol, hingga aktivis-aktivis di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar